Buya HAMKA
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Sungai Batang, Tanjung
Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di
Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia,
sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.
Kehidupan Awal
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 (Kalender Hijriyah: 13 Muharram
1362) di Minangkabau, Sumatera. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh
orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan
ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru
Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul,
sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman
di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni
Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama
neneknya di sebuah rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam
tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya
anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil ia belajar mengaji dan
tidur di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak
laki-laki Minang memang tak punya tempat di rumah. Di surau, ia belajar
mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba,
kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional
Minangkabau. Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya
pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui
novel-novelnya, Hamka sering mencomot kosakata dan istilah-istilah
Minangkabau. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun
dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam karya-karyanya.
Mengenyam Pendidikan
Pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan ke
sebuah Sekolah Desa dan belajar ilmu pengetahuan umum seperti berhitung
dan membaca di sekolah tersebut. Pada masa-masa itu, sebagaimana diakui
oleh Hamka, merupakan zaman yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia
bergegas pergi ke sekolah supaya dapat bermain sebelum pelajaran
dimulai, kemudian sepulang sekolah bermain-main lagi, bercari-carian,
bermain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya
bermain. Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di
Sekolah Desa, ia juga belajar di Diniyah School setiap sore. Namun sejak
dimasukkan ke Thawalib oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat
lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Ia berhenti setelah tamat
kelas dua. Setelah itu, ia belajar di Diniyah School setiap pagi,
sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.
Demikian kegiatan Hamka kecil setiap hari, sesuatu yang—sebagaimana
diakuinya—tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan masa
kanak-kanaknya.
Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai,
bahkan ia sering tidak hadir beberapa hari karena merasa jenuh dan
memilih mencari ilmu dengan jalannya sendiri. Ia lebih senang berada di
sebuah perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy
daripada dipusingkan dengan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalnya di
kelas. Dari perpustakaan tersebut, ia leluasa membaca bermacam-macam
buku, bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun, karena
buku yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran, ia
sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba
Cindua Mato. Ayahnya berkata, “Apakah engkau akan menjadi orang alim
nanti, atau menjadi orang tukang cerita?”
Sebagai usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai
akibat dari persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya
tarik Jawa Tengah, menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke
Tanah Jawa. Pada saat yang sama, ia tidak lagi tertarik untuk
menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Setelah belajar selama empat
tahun, ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib, sementara program
pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. Ia keluar
tanpa memperoleh ijazah. Pada masa-masa setelah itu, Hamka sempat dibawa
ke Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar
kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak berlangsung lama. Ia lebih
memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan pengalaman
menurut caranya sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke pulau Jawa.
Namun, usaha yang pertama sempat terjegal oleh ayahnya.
Merantau ke Jawa
Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia
remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan “Si Bujang Jauh”.
Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang
mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, Hamka telah
berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa lebih
maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi.
Namun setiba di Bengkulu, Hamka terkena wabah penyakit cacar, sehingga
setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan
kembali ke Padang Panjang. Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau
Jawa tidak terbendung. Pada tahun 1924, setahun setelah sembuh dari
penyakit cacar, ia kembali berangkat ke pulau Jawa.
Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta dan menetap di
rumah adik kandung ayahnya, Ja’far Amrullah. Melalui pamannya itu, ia
mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan
Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Selain
mempelajari pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam
persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi dan
komunisme. Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan
agama. Dalam berbagai kesempatan, ia berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo,
HOS Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto. Sebelum
kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke Bandung dan bertemu
dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir,
yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam.
Selanjutnya pada tahun 1925, ia pergi ke Pekalongan, Jawa Timur untuk
menemui Ahmad Rasyid Sutan Mansur—yang waktu itu menjabat sebagai Ketua
Muhammadiyah cabang Pekalongan—sekaligus belajar kepadanya. Selama di
Pekalongan, ia menetap di rumah kakak iparnya itu dan mulai tampil
berpidato di beberapa tempat.
Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa, ia mengaku memiliki
semangat baru dalam mempelajari Islam. Ia juga melihat ada perbedaan
antara misi pembaruan Islam di Minangkabau dan Jawa; jika di Minangkabau
ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap salah,
seperti tarekat, taklid, dan khirafat, maka di Jawa lebih berorientasi
kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Menunaikan Ibadah Haji
Setelah setahun lamanya berada di Jawa, pada bulan Juli 1925 Hamka
kembali ke Padang Panjang.[22] Di Padang Panjang, ia menulis majalah
pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan kumpulan pidato yang
didengarkannya di Surau Jembatan Besi, dan Majalah Tabligh Muhammadiyah.
Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang dakwah melalui tulisan, ia
menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun pada
saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, “Pidato-pidato
saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan
manfaatnya pidato-pidatomu itu.” Di sisi lain, ia tidak mendapatkan
penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai “tukang
pidato yang tidak berijazah”, bahkan ia sempat mendapat kritikan dari
sebagian ulama karena ketika itu ia belum menguasai bahasa Arab dengan
baik. Berbagai kritikan yang ia terima di tanah kelahirannya, ia jadikan
cambuk untuk membekali diri lebih matang.
Pada bulan Februari 1927, ia mengambil keputusan pergi ke Mekkah
untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya, termasuk untuk
mempelajari bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama.[27]
Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri.
Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus
bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid
Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Di
tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku,
dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang
dikuasainya.
Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa
calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia-Timur,
sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon
jemaah haji asal Indonesia. Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama
tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat
menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru
menasihatinya untuk segera pulang. “Banyak pekerjaan yang jauh lebih
penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau
lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu
sendiri”, ujar Agus Salim. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah
tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang
Panjang, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal
yang membawanya pulang.
Karier di Medan
Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan
sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi. Ia
mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di
Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di
Yogyakarta. Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian
Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama
perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis
romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah.
Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah Kemajuan
Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.
Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain: Agama dan
Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan
Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya
tersebut disita karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang
sedang berkuasa ketika itu.
Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali
berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh
sebab itu, ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput
dan membujuk Hamka pulang. Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat
Hamka luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Maninjau,
sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat gempa bumi
pada tahun 1926. Setiba di kampung halamannya, ia diterima ayahnya
dengan penuh haru hingga menitikkan air mata. Ayahnya terkejut
mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri.
Ayahnya bahkan berkata, “Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu
mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan
miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal
diasah.” Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah.
Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang, ia kembali
meninggalkan kampung halamannya.
Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936. Di Medan, ia bekerja sebagai
editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan
Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman
Masyarakat. Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya
memperkenalkan nama pena “Hamka”. Selama di Medan, ia menulis Di Bawah
Lindungan Ka’bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada
tahun 1927. Setelah Di Bawah Lindungan Ka’bah diterbitkan pada tahun
1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya
ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat. Selain itu,
ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti:
Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir,
Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.
Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya
dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.
Karier dan kehidupan selanjutnya
Muhammadiyah
Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham, Hamka aktif dalam
kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya
bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada
tahun 1925 di Sungai Batang. Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan
Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1
Januari 1930.
Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka
tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya.
Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai
akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930,
disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan
untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis. Selanjutnya pada
tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka
mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar
Muhammadiyah ke-21 di Makassar. Selama di Makassar, ia sempat
menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali
sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres
Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis
Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.
Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan.
Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia-Belanda ke dalam
tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan
Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.
Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan
melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi
Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.
Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah
dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia
selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada
tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur.
Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat
Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Wafat
Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatannya
menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga itu, ia
diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang
bertepatan dengan awal Ramadan.
Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan salat Duha dengan
bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter
datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada
dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam
harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf
sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa
dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan
harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan
Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.
Hamka meninggal dunia pada hari Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat
37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di
Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi
penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam
Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri
Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya.[59]
Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian
akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta
Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.
Politik
Natsir, Hamka, dan Isa Anshary
Sejak masih muda, Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu
ketika menjadi anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan, setelah
kemerdekaan ia aktif dengan Partai Masyumi. Pada pemilihan umum 1955, ia
terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan
tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak
sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur,
akhirnya Hamka menerima pengangkatan tersebut.
Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa
Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam
menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar
dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang
“kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, sebagaimana yang
termaktub dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi, pemikiran Hamka ditentang
keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, yang umumnya berasal
dari pihak komunis. Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di Bandung
pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan
Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun,
segala usahanya itu kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan
Konstituante melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan
politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah Masyumi ikut dibubarkan
oleh Presiden Soekarno.
Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali
berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa
kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan
oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka
diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir
dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di
dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya
ilmiah terbesarnya.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama
Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang
bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan
RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya
merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya
untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai
ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi, pada
tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya
sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak
kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Sastra
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit.
Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar
seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan
Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah
al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman
Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam
maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain
seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya
yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia
juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah,
biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan
pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah
terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan
Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks
sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga
ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa
dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama
Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974,
kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas
Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari
Universitas Prof. Dr. Moestopo.[63]
Daftar Karya
- Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
- Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
- Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
- Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
- Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
- Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
- Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
- Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
- Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
- Majalah Semangat Islam, 1943.
- Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
- Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
- Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
- Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
- Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
- Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
- Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
- Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
- K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
- Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
- Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
- Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
- Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
- 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
- Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
- Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
- Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
- Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
- Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
- Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
- Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
- Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
- Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
- Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
- Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
- Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
- Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
- Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
- Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
- Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
- Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
- Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
- Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
- Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
- Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
- Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
- Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
- Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
- Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
- Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
- Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
- Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
- Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
- Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
- Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
- Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
- Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
- Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
- Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
- Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
- Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
- Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
- Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
- Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
- Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
- Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
- Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
- Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
- Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
- Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
- Di Bawah Lindungan Ka’bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
- Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
- Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
- Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
- Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
- Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
- Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
- Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
- Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
- Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
- Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.